Ala Zabut |
Pengertian dan Hadis tentang Ikhlas Posted: 10 Apr 2013 04:23 AM PDT
Secara bahasa ikhlas berasal dari bahasa arab: akhlasa-yukhlisu-ikhlasan, mengandung makna: jujur, tulus hati dan rela yang berpendapat ikhlas mengandung makna memurnikan dan membedakan yang satu dengan yang lain[1] Secara istilah, dapat diungkapkan dari beberapa pendapat yaitu; Menurut Hasbi as-Siddiqy, Ikhlas ialah melaksanakan sesuatu amal semata-mata karena Allah, Yakni semata-mata karena iman kepada-Nya dan semata-mata karena mengharap akan dia.[2] Menurut Syekh Mansur Ali Najif, Ikhlas ialah, memurnikan ketaatan hanya kepada Allah SWT, seakan-akan anda melihat-Nya.[3] Dalam pandangan Ahli Tasawuf, ikhlas diartikan dengan menjadikan Allah SWT sebagai satu-satunya sesembahan, bertaqarrub kepada-Nya, mengeyampingkan yang lain dari makhluk, apakah itu sifat memperoleh pujian ataupun penghormatan dari manusia.[4] Sedangkan orang yang melaksanakan ikhlas disebut dengan Mukhlis. Dari pengertian di atas menunjukkan esensi ikhlas ialah mengerjakan sesuatu amal hanya karena Allah, dan dinyakini bahwa amal yang diperbuat itu selalu dilihat oleh Allah. Oleh karena itu setiap amalan harus selalu diiringi dengan keikhlasan, Apabila suatu ibadat tidak ada ikhlas, maka amalan itu tidak dipandang syah. Karena kalau diibaratkan sebuah tubuh, ikhlas adalah merupakan ruhnya. Apabila tidak ada ruh maka tidak sempurnalah jasad.[5] Allah berfirman dalam surat al-Bayyinah ayat 5: Nabi Bersabda : لا يقبل الله من العمل الا ما كان له خالصا وابتغي به وجهه.[6] Ikhlas merupakan suatu hal yang sangat rahasia dan memang hanya Allah yang mengetahui, karena ikhlas merupakan rahasia hati, sebagaimana Allah mengatakan bahwa ikhlas itu adalah rahasianya, dan ia memberikannya pada orang-orang yang ia cintai, sebagaimana Hadis Qudsi : سالت جبريل عليه الاسلام عن الاخلاص, ما هو؟ قال: سالت رب العزة عن الاخلاص, ما هو؟ قال: سر من سري استودعته قلب من اجبته من عبادى.[7] Menurut Hasby as-Siddiqy, Ikhlas diukur tinggi rendahnya berdasarkan kadar murninya. Ikhlas paling tinggi ialah apabila seseorang dapat melaksanakan amalnya sama berat dengan kadarnya, baik dilihat atau tidak dilihat oleh orang lain. Artinya terlepas dari pengaruh orang lain. Dan serendah-rendah ikhlas ialah melaksanakan amal yang dilihat orang jauh berbeda dari melaksanakannya di hadapan manusia.[8] Keistimewaan ikhlas ialah merasa lezat bermunajat kepada Allah, pahala yang dilipatgandakan, bathin menjadi bersih, dan hati bercahaya karenanya, sehingga hati orang yang bersangkutan mau menerima pelajaran dan nasihat yang baik. Hadis Nabi saw :
Kata Innama al-A'malu bi an-Niyat mengandung makna penghargaan bagi amalan-amalan yang dilakukan oleh seorang mukallaf, atau sahnya suatu amal di sisi Allah adalah menurut niyat yang menggerakkan si mukallaf untuk mengerjakan amalannya itu. Kata wa innama likullimri-in ma nawa, yakni tiap-tiap manusia, baik laki-laki ataupun perempuan memperoleh pahala dari apa yang diniyatkannya. Artinya seseorang yang mengerjakan sesuatu, menerima pahala amalnya menurut niyatnya. Dan pahala amalannya itu, diperoleh yang mengerjakannya sendiri. Kata Fa man kanat hijratuhu ilallahi wa rasulihi fa hijratuhu ilallahi wa rasulihi, maksudnya barangsiapa berhijrah meninggalkan kampung halamannya karena mencari keredhaan Allah dan keredhaan rasul-Nya, maka ia akan memperoleh pahala dari pada hijrahnya itu. Kata wa man kanat hijratuhu ila dun-ya yusibuha awimra-atin yankihuha fahijratuhu ila ma hajara ilaihi, yakni barangsiapa meninggalkan kampung halamannya pergi ke Madinah lantaran sesuatu maksud keduniaan yang ingin dicapainya, atau lantaran maksud dapat mengawini wanita yang lebih dahulu sudah berhijrah ke Madinah, maka dia tidak memperoleh pahala dari hijrahnya. Bahkan dia mungkin mendapat dosa lantaran dia berhijrah bukan dengan maksud mengikuti Allah dan rasul-Nya.[10] [1] Syekh Mansur Ali Najif, At-Taju al-Jami' li Ujul fi Ahadih ar-Rasul, (penerjemah) Bahrun Abu Bakar, Mahkota Pokok-Pokok Hadis Rasulullah Saw, (Bandung : Sinar Baru, 1993), jilid .I, hlm.109. Selanjutnya disebut Syekh Mansur. [2] T.M. Hasby as-Siddiqy, Al-Islam I, (Semarang : Pustaka Rizki Putra, 1998), hlm.452 [3] Syekh Mansur, Op.cit., hlm.110 [4] Imam al-Qusyairi an-Naisabri, Risalah Qusyairiyah, Penerjemah (Muhammad Lukman Hakim), Risalah Qusyairiyah Induk Ilmu Tasawwuf, (Surabaya : Risalah Gusti, 1997), hlm.243 [5]Syeikh Musafa al-Ghalayini, 'Ijja al-Nasi'in, penerjemah (Muhammad Abda'i Ratomi), Bimbingan Menuju Akhlak Yang Luhur, (Semarang : Toha Putra, 1976), hlm.12 [6] Abu 'Abdullah ibn Yazid ibn 'Abdurrahman ar-Rabi'i al-Qajwini, Sunan Ibn Majah, (Beirut: Dar al-Kitab al-Ilmiyah, T.th), Juz.I,hlm.259 [7] Hadis ini diriwayatkan oleh Qazwini, riwayat dari Hu'aifah, Lihat Imam al-Qusyari, Op.cit, hlm.244 [8] Hasbi as-Siddiqy, Al-Islam I, (Semarang : Pustaka Rizki Putra, 1998), hlm.453 [9] Al-Imam Abi zakariya ibn Syarif an-Nawawi ad-Dimasqi, Riyadus salihin, (T.tp: Dar al Fikr, 1993), hlm.12. [10] T.M. Hasby ash-Siddiqy. 2002 Mutiara Hadis, (Jakarta : Bulan Bintang, 1978), Juz. I, hlm.26-31. Keseluruhan diambil dari Diktat Hadis oleh Muhammad Amin, M.A. Dosen STAIN Padangsidimpuan |
You are subscribed to email updates from Ala Zabut To stop receiving these emails, you may unsubscribe now. | Email delivery powered by Google |
Google Inc., 20 West Kinzie, Chicago IL USA 60610 |
Posting Komentar